Misi ke Nias Selatan


Tepat di ulang tahun saya, 24 Agustus 2018, untuk pertama kalinya saya terlibat dalam sebuah trip misi dari gereja saya ke Nias Selatan. Pengalaman ini sangat berharga dan memberikan banyak pelajaran hidup. Untuk sampai ke sana saja sudah cukup melelahkan. Saya dan tim harus berangkat dari Jakarta ke Medan sekitar 2 setengah jam dengan pesawat untuk melanjutkan penerbangan menggunakan pesawat baling-baling ke Gunung Sitoli selama 1 jam.

Dari Gunung Sitoli, kita harus menggunakan mobil untuk ke Teluk Dalam yang memakan waktu paling lama yaitu 3 setengah jam. Dari Teluk Dalam ke gereja-gereja yang ada juga harus menempuh waktu kurang lebih 1 jam untuk setiap gereja-gerejanya. Di samping kuliner enak dan beberapa tempat wisata yang ternyata lebih indah dari yang saya bayangkan (jadi pembahasan yang lain nanti), kami fokus kepada misi kami yaitu melihat keadaan cabang-cabang gereja yang ada di sana serta menguatkan setiap gembala dan jemaat yang ada di sana.

Kami mengadakan seminar, KKR, dan melayani di ibadah hari Minggu. Saya sendiri mendapatkan pelayanan untuk sharing di salah satu gereja yang berada di paling ujung. Coba bayangkan untuk sampai ke sana kita harus menanjak bebatuan yang cukup licin. AC mobil harus dimatikan untuk naik ke sana. Jika hujan, maka akan sangat berbahaya. Gembala yang ada di sana bercerita betapa sering ban mobilnya bocor di tengah perjalanan. Mereka tinggal di bawah dan setiap melayani mereka akan berangkat ke atas. Semua demi jemaat di atas yang ternyata bisa dihitung jari (sekitar 10-15 orang). Satu jiwapun berharga, betul?

Saya sudah siap untuk berbagi di sana, tapi tiba-tiba saya mendapat kabar saat sedang ngobrol dengan si gembala bahwa jemaat di sana tidak mengerti bahasa Indonesia. Alhasil saya belajar bahasa Nias secara cepat dalam semalam dari anak-anak dan remaja yang ada di luar seminar. Saya merekam mereka bicara dan mengulanginya pada malam hari.

Jadinya, saya mengerti Yahowu’u (shalom), Hadia Duria (apa kabar?), Nifahou’e (diberkati), dan o masi’dro khe’u (I love you). Saya menggunakan bahasa yang saya pelajari untuk menarik perhatian jemaat dimana saya melayani. Puji Tuhan semua berjalan dengan lancar.

Pada saat KKR, saya melihat anak-anak di luar yang cukup banyak sedang bermain dan tentunya berisik. Saya segera berinisiatif untuk mengumpulkan mereka agak jauh dari tempat ibadah dan bercerita kepada mereka. Awalnya ingin cerita horor tapi rasanya tidak matching karena di gereja, jadinya beralih ke kisah Yesus yang berjalan di atas air (horor sedikit).

Saya membelikan anak-anak biskuit. Dengan uang 100,000 IDR, saya dapat 50 biskuit dan ada sekitar 30 anak yang sangat bahagia mendapatkannya. Pulangnya saya mendengar bahwa penduduk di sana mengorek-ngorek pasir di pantai yang tentunya merusak alam hanya untuk mendapatkan uang 100,000 IDR sampai 200,000 IDR jika 1 truk penuh pasir. Kalian bisa bayangkan betapa kita di kota uang 100,000 IDR bisa mengalir seperti eek begitu saja, tapi bagi mereka itu sangat sulit didapatkan dan bisa membuat banyak orang bahagia.

Saya menemukan bahwa kebahagiaan bisa didapatkan ketika kita mau berbagi untuk orang lain. Kebahagiaan bukan diukur dari materi tapi dari pelayanan kita. Kita akan menemukan arti hidup saat kita mau berbagi kepada orang lain. Ada rasa puas dan bahagia yang sulit diungkapkan ketika melihat senyum dan tawa dari mereka yang saya ajak ngobrol dan bercanda. Mereka tidak perlu gadget atau uang untuk bahagia. Mereka butuh kepedulian dari kita.



Be blessed!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s