Sorry for being critical, tapi banyak orang sering bersyukur dengan cara yang—menurut saya—sebenarnya kurang tepat. Berawal dari mendengar lagu dari Grezia Epiphania ‘Walau Ku Tak Dapat Melihat’ di mobil. Saya diingatkan akan cara bersykur yang suka diumbarkan orang saat sedang menguatkan atau mungkin kita sendiri yang melakukannya.

Bersyukur karena masih dapat bekerja karena banyak yang makan saja susah. Bersyukur karena dapat melihat karena banyak yang ingin melihat indahnya dunia tapi harus menerima kebutaan mereka. Intinya pada akhirnya pasti dikatakan selalu ada yang bisa kita syukuri dalam segala hal yang kurang menyenangkan.
Tapi masalahnya adalah begini. Kita bersyukur karena hal yang kurang menyenangkan atas hal yang lebih kurang menyenangkan. Paham sampai di sini? Mari saya jelaskan sebisa saya. Di saat seseorang atau mungkin kita sendiri mengatakan bahwa kita bersyukur masih bisa berjalan karena banyak yang harus duduk di kursi roda, bukankah “secara langsung” kita mengatakan bahwa kita beryukur karena nasib kita masih baik, tidak seburuk orang lain? Atau kalimat kasarnya—kita bersyukur di atas penderitaan orang lain.
Di sinilah kadang saya merasa terganggu. Menurut saya cara bersyukur seperti ini agak kurang pantas. Kita bersyukur karena kita membandingkan diri kita yang bisa melihat dengan orang yang buta. Lantas, bagaimana orang buta harus bersyukur atas keadaan mereka? Karena mereka masih hidup? Jadi kita bersyukur atas kematian orang lain?

Begitu saja sih yang mau saya bagikan. Jika ada yang keberatan, ya mohon maaf lahir batin. Just trying to offer my point of view about this matter.
Be blessed!
Sebenarnya bersyukur untuk kebaikan diri sendiri. Membandingkan dengan orang lain adalah tidak tepat. Sebab orang memiliki cacat lahir itu adalah ciptaan yang sempurna. Bila cacat akibat kecelakaan sendiri juga bahwa Tuhan Maha Adil
Terima kasih untuk opininya. Saya setuju sangat dengan Anda.