Mungkin banyak dari kita yang mengalami yang namanya kemunduran rohani, termasuk saya. Sejak tidak bisa beribadah secara online, semua mulai membatasi diri. Persekutuan tertunda. Semua tidak berani berkumpul. Bagaimana tidak? Batuk sedikit saja sudah dipandang seperti apa walaupun oleh teman baik sekalipun.
Hey! Jangan cuma baca dan belajar saja, tapi hargai penulisnya dengan like, follow, dan kasih pendapat di komen serta bagikan supaya kehidupan bersama lebih baik.
Akibatnya banyak orang yang tidak menyembah, tidak bersekutu, tidak bertumbuh, dan tidak melayani. Di saat seperti ini, saya sudah mendengar sendiri dari banyak teman saya yang juga mengalami kemunduran.
Lantas bagaimana kita menyikapinya? Apakah kita akan hanya terus berdiam diri menerima keadaan? Tentu tidak. Karena iman kita adalah taruhannya. Semakin kita nyaman dengan keadaan saat ini, maka semakin kita masuk ke dalam jebakan Iblis dimana kita mulai malas beribadah, malas bersekutu, malas membaca firman, malas berdoa, malas melayani, dan sebut saja malas-malas lainnya.
Kemarin saat komsel online yang sudah lama sekali tidak diadakan karena satu dan lain hal, salah satu teman memberikan sharing tentang kemunduran rohani dan saya mendapatkan beberapa hal yang mau saya bagikan di sini tentang kemunduran rohani.
1. SIAPA SAYA?
Saya teringat dengan film Overcomer dimana seroang pelatih Kristen berjanji untuk mendoakan seseorang di rumah sakit. Ketika bertemu kembali, orang itu bertanya kepada pelatih tersebut siapakah dia? Pelatih itu menjawab bahwa dia adalah seorang pelatih. Namun dia dibalas dengan pertanyaan bagaimana jika suatu saat dia tidak bisa melatih lagi?
Pelatih tersebut menjawab bahwa dia adalah seorang ayah. Namun bagaimana jika semua keluarga diambil darinya? Terakhir pelatih itu menjawab bahwa dia adalah anak Tuhan. Pertanyaan berikutnya menyentak pelatih tersebut, “Apakah kamu sudah mendoakan saya?”
Sebagai seorang Kristen, kita sangat mudah mengatakan bahwa kita akan mendoakan seseorang namun pada kenyataannya kita suka tidak melakukannya. Saat semua diambil dari kita, apakah kita tetap bertindak sebagai seorang anak Tuhan? Sebagai orang percaya?
Ketika kita tidak bisa beribadah, tidak bisa komsel bertemu muka, tidak bisa melayani di gereja; apakah kita tetap bertindak sebagai anak Tuhan? Apakah kita tetap menyembah, mengasihi, dan melayani?
Banyak yang mengalami krisis identitas ketika semuanya diambil dari mereka. Namun sebenarnya yang seharusnya terjadi adalah sebaliknya. Mungkin kita tidak bisa beribadah, tapi bukan berarti kita berhenti bertindak sebagai anak Tuhan. Kita masih bisa ibadah online. Kita bisa mengajak teman-teman untuk ibadah online bareng. Kita bisa tetap menyembah walaupun tidak di gereja.
Identitas kita menentukan tindakan kita, bukan sebaliknya.
Karena kita percaya, makanya kita menyembah dan mengasihi Tuhan dan sesama. Bukan karena kita beribadah atau komsel, maka kita percaya.
Ketika kita mengenali siapa kita, apa identitas kita di dalam Tuhan, maka kita tidak akan mengalami keunduran rohani.
2. UJI DIRI
Momen pandemi ini adalah saat yang tepat untuk menguji diri. Apakah kita benar-benar mengasihi Tuhan? Apakah kita benar-benar menghidupi firman?
Mungkin selama ini kita merasa dekat dengan Tuhan karena memang kita dikeliling oleh komunitas orang percaya. Namun ketika kita tidak bisa dekat dengan komunitas, kita baru sadar bahwa ternyata hubungan kita dengan Tuhan itu sangat jauh.
Selama ini kita memberi dan mengasihi sesama di dalam persekutuan. Namun ketika tidak bisa berkumpul, kita lebih memikirkan diri sendiri dan sibuk dengan urusan sendiri sampai tidak punya waktu untuk komunitas.
3. ADAPTASI
Ketika kita sudah mengenali identitas dan menguji diri, maka carilah solusinya. Jangan hanya diam pasif menerima keadaan. Yang aktiflah yang akan bertahan. Iman kita dipertaruhkan di sini. Siapa yang bertahan, dia tidak akan goyah.
Solusi yang perlu kita ambil adalah beradaptasi. Manusia adalah makhluk yang pandai beradaptasi sejak dulu. Kita mampu beradaptasi dengan binatang-binatang besar, iklim yang ekstrim, tempat-tempat baru, makanan dan minuman, sampai ke teknologi juga.
Kita tidak bisa ibadah tatap muka, tapi kita bisa beradaptasi dengan beribadah online walaupun mungkin kita bukan tipe yang suka beribadah online seperti saya. Luangkan waktu untuk berdoa dan menyapa teman-teman rohani terutama yang berada dalam 1 komsel. Kita bisa tetap peduli walaupun tidak bertemu muka. Kita bisa mengirimkan makanan sekali-sekali atau ajaklah Video Call atau ngobrol di telepon.
Pandemi akan berlangsung lebih lama dari yang kita pikirkan. Belum lagi akan ada penyesuaian-penyesuaian baru setelah itu. Kenali kembali identitas, bertindaklah, uji diri, dan adaptasi. Kemunduran rohani? Tidak ada itu di dalam kamus hidup kita!
Be more positive, creative, and productive! Be blessed!