I am not going to spoil you the story nor review the movie. But what I will tell you all is about how this horror movie turn into comedy movie. Bagaimana bisa terjadi?
Before I begin, let me give you the background waktu saya nonton ‘Woman in Black’ yang pertama dimana yang main si pemeran Harry Potter, Daniel siapalah itu. Waktu itu si Juma, teman laki-laki (bukan perempuan, camkan ini baik-baik) saya, teriak sampai saya menangis karena mendengar tawa satu bioskop yang meledak setelah si Juma ini teriak. Di film yang keduanya ini, saya sudah wanti-wanti menunggu aksi Juma berikutnya. Saya nonton bersama Juma dan Bunli. FYI, jarang sekali teman-teman saya mau nonton film Horror. Padahal saya paling suka genre film ini (saya juga suka Thriller). Dan eng ing eng, akhirnya tibalah kami menonton film ini.
Berikut hal-hal yang membuat saya tidak bisa menahan tawa. Berawal dari Juma yang sudah komen banyak di saat sudah malam (saat dimana setan biasanya muncul). Kemudian pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja hanya sutradara dan para kru film yang tahu jawabannya, secara saya belum nonton. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Itu anaknya siapa? Siapa itu yang muncul? Dia lihat apaan? Kenapa begini? Anak itu mati ya? Mati tuh beneran?” I mean, lu berdua pikir gue yang buat tuh film? Lu berdua pikir gue penulis ceritanya? Hellooo! Tanyakanlah pada rumput yang bergoyang.
Tapi ini belum seberapa. Bunli. Dia sudah nonton trailer film ini dua kali dan dia sudah tahu mana adegan yang akan membuat kaget. Dia tutup mata berulang kali saat adegan itu, tapi entah bagaimana dia tetap kaget juga. Mungkin dia membuka mata pada saat yang tidak tepat, saudara-saudara? Momennya mungkin yang kurang pas di mata dia. Si Bunli ini sempat berisik juga di dalam bioskop ceritain teman dia yang harusnya nonton bareng saya karena temannya itu tidak suka genre film lain selain horror dan dia tidak ada reaksi apa-apa saat nonton horror. Bedanya dengan saya, reaksi saya senang kalau kaget atau melihat teman-teman saya kaget. Karena omongannya yang volumenya agak tinggi, dia di ‘ssst’ oleh orang sekitar dia.
Kemudian kita kembali ke pemeran utama kita, Juma. Paha saya sudah menjadi sasaran empuk dia sekali saat di tengah film. Tidak seperti Bunli yang cilukba pada momen yang tidak pas. Juma tampaknya sudah lebih pintar, saudara-saudara. Dia menutup mata dan menunggu sampai ada teriakan baru dia buka mata. Dia terselamatkan beberapa kali. Namun ada saat-saat dimana dia dikagetkan hanya dengan kemunculan anak-anak kecil yang bermain atau lonceng yang berbunyi. Hampir klimaks, saat pemeran di film mendatangi si rumah setan dengan beraninya seorang diri. Juma sudah mengeluarkan jurus lipatan kaki tangan dan kepala yang membulat bagaikan kepompong ke arah saya. Si Bunli di sebelah kiri masih dengan gaya tegangnya juga mendekat ke saya. Saya ngakak habis-habisan, saudara-saudara. Ini film horror kenapa bisa jadi lucu begini akibat aksi si duo cowo pengecut ini. Klimaksnya tiba di perlawanan terakhir film ini dimana si anak yang aneh ini sudah disadarkan dan tampak sudah happy ending. Juma tentu saja sudah bahagia menari-nari di atas awan saat tiba-tiba si anak ditarik ke dalam air. Sontak melonjaklah si Juma sambil menjerit ke arah saya dan tamparan tanpa bayangan menghujam paha saya yang seksi, bukan hanya sekali, namun ratusan! Perih nikmat. Satu umpatan keluar dari mulut saya, mohon maaf ya, “Taik!”
Beginilah nasib cowo macho ganteng nan pemberani seperti saya apabila nonton horror bersama duo cowo tampak macho pemberani di luar tapi berhatikan Hello Kitty dan Shaun of the Sheep di dalam. Tapi masih mendinglah tidak seperti saat nonton ‘Orphan’ dimana Juma menggigit saya. Ada yang mau ngakak saat nonton horror? Ajaklah Juma dan Bunli, recommended!