Sudah seminggu saya memutuskan untuk melakukan detox media sosial. Walau hanya seminggu tapi kemungkinan saya akan meneruskannya karena setelah 1 minggu, saya masih ada perjanjian kerja sama upload foto di sana. Kecanduan media sosial secara tidak langsung mempengaruhi hidup saya.

Walaupun tidak sampai nomophobic (takut tidak punya ponsel atau tidak punya akses ke ponsel), tapi saya memiliki alasan sendiri kenapa saya memutuskan untuk istirahat dari media sosial ini dan melihat apakah memang separah itu jika tidak punya media sosial.

Kenapa saya memutuskan untuk detox media sosial?


1. FOKUS PADA ANGKA

Saya tidak henti-hentinya membuka media sosial saya hanya untuk melihat angka. Saya lihat engagement saya. Saya lihat pertambahan like dan comment saya. Saya lihat aapakah ada yang DM saya. Jadinya tujuan saya membuat post atau Story hanyalah untuk diakui orang. Setuju atau pura-pura tidak setuju, kita semua pasti merasa senang saat ada yang like dan respon post kita.

Saya perlu kembali ke motivasi saya pada awalnya membuat konten. Saya ingin berbagi kisah hidup dan inspirasi kepada orang lain karena saya memang ingin membantu yang lain, bukan karena saya ingin diakui. Ketagihan media sosial mengalihkan fokus saya dari orang lain ke saya sendiri.

Saat saya membuat konten, alih-alih memikirkan berbagi kehidupan dan pengetahuan untuk membantu orang lain, saya malah menanyakan konten seperti apa yang akan disukai orang-orang. Fokus saya berubah menjadi lebih ke menyenangkan orang lain, bukan membantu orang lain.


2. MEMBANDING-BANDINGKAN

Beberapa minggu yang lalu saya mempelajari bagaimana melakukan personal branding dari buku Gary Vee ataupun YouTube. Mereka banyak memberi masukan tentang mendapatkan lebih banyak followers, likes, dan comments serta menggunakan media sosial sebagai bisnis yang menarik klien.

Saya akui memang saya ketinggalan jauh tentang personal branding ini dan saya bersemangat untuk melakukannya. Salah satu cara untuk membangun personal branding ini adalah dengan jalan-jalan ke akun dengan niche yang sama dengan saya dan berinteraksi dengan mereka. Tapi saat saya melihat-lihat akun mereka, saya mulai membanding-bandingkan.

Mereka punya pengikut lebih sedikit dari saya, tapi kenapa like mereka lebih banyak dari saya? Kenapa orang-orang lebih banyak mengomentari dan membagikan konten mereka? Konten saya tidak kalah dengan mereka. Saya tidak berhenti mencari tahu bagaimana mereka bisa melakukan itu dan saya ingin menjadi seperti mereka juga.

Pada akhirnya waktu saya yang harusnya bisa membuat konten malah menjadi waktu hanya untuk membanding-bandingkan. Bukan hanya membandingkan engagement, namun juga membandingkan kehidupan. Kenapa penjualan mereka lebih banyak? Kenapa mereka bisa lebih produktif daripada saya? Kenapa mereka bisa lebih berhasil dari saya? Kenapa mereka punya teman-teman yang lebih akrab dari saya? Kenapa komunitas mereka lebih baik dari saya?

Saya pun menyadari bahwa tidak semua yang kita lihat di media sosial adalah yang sebenarnya, bahkan hamnpir semuanya tidak seperti yang sebenarnya. Kita, termasuk saya sendiri, hanya memperlihatkan apa yangmau kita perlihatkan. Dan kebanyakan kita memperlihatkan keadaan kita yang sempurna.

Kita memperlihatkan bagaimana teman-teman memperhatikan kita. Kita memperlihatkan masakan kita yang terlihat enak (padahal tidak enak). Kita memperlihatkan bagaimana orang-orang begitu terinspirasi dengan konten kita. Silakan lanjutkan sendiri.


3. MENGURAS WAKTU

Setiap bangun tidur mengecek media sosial. Setiap beberapa jam sekali mengecek media sosial. Sebelum makan mengecek media sosial. Saat main bersama ponakan-ponakan, mengecek media sosial. Saat mau tidur mengecek media sosial. Menyetir pun bisa sambil mengecek media sosial. Rata-rata penggunaannya minimal 10-15 menit. Dalam 1 hari bisa sampai lebih dari 2 jam (karena dulu saya membuat batasan 2 jam tapi tidak berhasil karena saya tetap melihat walaupun sudah melebih waktu).

Saat memikirkan konten, malah melihat media sosial. Saat mengedit video malah lebih lama melihat media sosial. Saat nonton Netflix atau YouTube pun bisa sambil melihat media sosial.

Waktu saya yang 2 jam lebih itu terbuang sia-sia. Apa yang saya dapatkan? Hanya stress karena seharusnya saya bisa menyelesaikan konten saya tapi malah tertunda. Waktu saya untuk menjadi kreatif malah saya pakai untuk sesuatu yang tidak produktif.

Daripada kita stress karena tidak membuat konten, kenapa kita tidak stress saat membuat konten? Pada akhirnya kita merasa mencapai sesuatu karena ada hasil dari yang kita kerjakan.

Teman saya, saat mendengar saya melakukan detox media sosial, tidak percaya akan itu. Dia mengatakan bahwa media sosial adalah nafas dari saya. Justru karena saya tidak mau menajdikan media sosial ini nafas saya, makanya saya memutuskan untuk tidak terikat dengan media sosial.


Ini adalah 3 alasan utama saya memutuskan untuk sementara menghentikan media sosial. Saya perlu me-refresh hidup saya. Saya perlu kembali kepada tujuan mula-mula saya membuat konten. Saya perlu kembali mengendalikan pikiran saya agar bisa fokus kepada tujuan dan berhenti membanding-bandingkan.



Teman-teman ada yang pernah mengalami semua ini? Atau mungkin ada yang lain yang lebih parah? Ada juga yang sampai lebih suka berbicara pada media sosial daripada berbicara dengan orang yang sebenarnya. Ada yang lebih memperhatikan pengikut (yang sebenarnya hanya peduli di dunia maya saja) daripada orang-orang yang duduk bersamanya.

Sekarang saya tidak punya alasan lagi untuk tidak menjadi kreatif dan produktif. Saya punya lebih banyak waktu untuk fokus pada kreativitas saya. Saat bangun tidur, saya bisa langsung mencuci muka dan bersiap-siap lari pagi karena tidak ada lagi yang bisa saya cek. Artikel selanjutnya saya akan menceritakan perjuangan saya dalam seminggu ini.

Be blessed!

4 thoughts on “Kenapa Saya Memutuskan Puasa Media Sosial”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *